Guru yang baik bukan hanya sukses menghasilkan anak-anak didik yang cerdas dan berprestasi. Sebab, sifat dan karakter siswa berbeda-beda. Itu sebabnya, guru yang baik adalah mereka yang -selain berasil dalam bidan akademis- mampu bertahan dalam ingatan dan lecutan positif siswa-siswanya, baik yang berprestasi, maupun yang dikategorikan biasa-biasa saja.
Guru yang baik adalah mereka yang bisa memahami kesulitan anak didiknya. Bukan berarti guru harus ikut campur atas segala urusan si anak, melainkan memelihara kepedulian, tidak hanya kepada mereka yang cerdas tetapi juga sebagian lainnya yang perlu diperhatikan.
Kecerdasan siswa itu berbeda-beda, begitu pula bidang minat mereka. Itu sebabnya, guru sepantasnya memberi arahan dan bimbingan. Salah satu caranya adalah dengan bersikap terbuka (open mind).
Bisa dibayangkan betapa banyaknya karakteristik siswa di sekolah yang harus dihadapi seorang guru. itu sebabnya, selain sikap terbuka, sikap tegas dan disiplin seorang guru tetap diperlukan.
Ada beberapa kiat khusus untuk menjadi guru yang baik; guru yang berpotensi menjadi idola; guru yang tidak hanya memperhatikan kemajuan adademik siswa-siswanya, melainkan juga memahami perkembangan karakter dan mampu menjadi motivasi bagi seluruh anak didiknya.
sumber: http://3.bp.blogspot.com |
The mediocre teacher tells. The good teacher explains. The superior teacher demonstrates. The great teacher inspires.
Guru yang biasa-biasa saja memberi tahu. Guru yang baik menjelaskan. Guru yang bagus menunjukakan bagaimana caranya. Tetapi guru yang luar biasa menginspirasi murid-muridnya. - William A. Ward - (www.suksestotal.com)
Bagaimana menemani siswa yang bermasalah?
Anak yang bermasalah itu biasa dan pasti ada di setiap lingkungan pendidikan. Kita biasa menyebutnya anak nakal. Sayang banyak orang yang tidak menyadari kalau cap yang melekat itu sebenarnya malah menimbulkan dampak negetif, baik pada si anak maupun imbas kelakukan yang disebut nakal tersebut.
Anak akan cenderung melakukan apa yang orang lain katakan tentang dirinya. Bila dicap nakal, dia tidak akan segan berlaku nakal. Itu sebabnya, ada baiknya seorang guru meluangkan waktu menaruh perhatian khusus pada siswa semacam ini.
Caranya sering-sering membuka pembicaraan atau obrolan dengannya. Akan tetapi, guru juga harus memilih bahasan atau topik ringan, juga memilih kata yang enak didengar siswa sehingga membautnya merasa nyaman dan tidak merasa sedang dihakimi.
Tindakan seperti itu bukan bentuk konseling. Akan tetapi sebagai bentuk perhatian guru kepada siswa. Biarkan siswa berbicara, dan guru mendengarkan. Jangan malah melontarkan ancaman.
Alih-alih maksudnya baik supaya si anak didik tidak mengulang perbuatan nakalya, eh bisa-bisa ia mendendam akibat merasa dijatuhkan mentalnya. Ya, guru mau mendengarkan saja, anak sudah merasa senang.
Puas, mungkin tidak. Akan tetapi, penting untuk disadari, saat siswa mengeluarkan uneg-uneg, kita harus membatasi diri dan tidak mendadak siap memberi solusi. Karena anak malah akan merasa takut atau minder. Dia hanya butuh didengarkan keluhannya, keinginannya, dan maunya apa.
Hanya kadang, anak sulit mengkomunikasikan itu dengan leluasa. Bisa karena faktor keluarga atau malah karakter anak yang demikian. Memang, cara semacam ini membutuhkan banyak waktu. Namun, tidak ada salahnya diterapkan agar terjadi keberhasilan dalam mendidik siswa. Caraya bisa dengan diajak makan atau mengambil hatinya dengan hal-hal yang dia suka.
Pendekatan komunikasi yang terus-menerus akan membuat murid merasa diperhatikan. Jika siswa sudah berani curhat atau bercerita, maka itu pertanda baik. Sebab, secara tidak sadar dia sudah mencair dan bisa diajak bekerja sama untuk memcahkan masalah.
Akan tetapi cara ini akan melibatkan orang tua secara penuh. Sebab, tanpa campur tangan orang tua -orang yang terdekat di luar lingkungan sekolah formal- cara ini tidak akan efektif. Bisa-bisa hanya melonggarkan permasalahan sementara saja, bukan menyelesaikan persoalan secara tuntas.
Maka, baik orang tua maupun guru harus berani bicara jujur jika anaknya benar berarti ya wajar dibilang benar, tetapi jika salah ya bilang saja salah. Karena tidak jarang, orang tua menutupi kesalahan anaknya.
(Sumber: Firdaus, Zuhdi A. 2010. Menjadi Guru Idola; Panduan Guru. Yogyakarta: Gen-K Publisher Hal 69-72.)
terima kasih artikel ini sangat bermanfaat sekali. semoga menginspirasi kami untuk menjadi guru yang baik
ReplyDelete